BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tak asing lagi ditelinga kita tentang sebuah cerita yang dituliskan oleh Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi. Yang karena banyak pembaca yang antusias maka novel tersebut di filmkan. Penulis mengambil sorotan pada kehidupan seorang guru yang ditempatkan di pelosok daerah, seorang yang sederhana, tulus, gigih, penuh dedikasi, ulet, tangguh, tawakal, dan sangat mencintai profesinya. Itulah yang penulis rasakan ketika menonton kisah tersebut. Cerita tersebut bukan merupakan dongeng belaka, tetapi cerita nyata yang dituliskan oleh seorang murid SD. Kilas balik cerita, guru tersebut bernama Ibu Muslimah, yang mengajar di sebuah sekolah dasar yang terletak di Bangka Belitung, SD Muhammadiyah. Kondisi sekolah yang sebenarnya tidak layak dikatakan sebagai sekolah. Tetapi terdapat dua seorang guru yang sangat luar biasa, memberikan yang terbaik. Keikhlasan, pengorbanan, dan ketulusan Ibu Muslimah dibuktikan dengan banyaknya prestasi yang diperoleh murid-muridnya. Mungkin pembaca dapat membaca buku itu sebagai referensi bagi kita, khususnya penulis, dalam melaksanakan amanah sebagai seorang guru.
Sangat berbanding terbalik dengan kehidupan guru kebanyakan. Penulis bukan bermaksud memojokkan guru, tetapi sebagai pelajaran bagi penulis sendiri untuk ke depannya. Penulis membaca suatu artikel yang ditulis oleh Tri bana (http://tribana.blogspot.com/2009/01/pembinaan-guru-dan-mutu-pendidikan.html) yang berisi tentang masalah-masalah guru pada saat ini. Point-point besar yang penulis tangkap dari artikel tersebut adalah sebagai berikut :
- Mutu pendidikan kita masih jalan di tempat—jika tidak bisa dikatakan mundur—dibandingkan negara tetangga yang pernah belajar dari guru-guru Indonesia.
- Kualitas guru beberapa puluh tahun terakhir ini semakin menurun. Indikatornya, rendahnya daya saing para lulusan. Para lulusan menambah antrean panjang pengangguran.
- Perilaku siswa adalah cerminan kondisi guru. Beberapa gurunya di sekolah tidak lagi mendidik, melainkan hanya mengajar sehingga sudah merasa puas hanya dengan deretan angka di rapor/STTB. Besarnya angka-angka itu—yang sering palsu—dijadikan indikator meningkatnya mutu pendidikan. Indikator yang palsu ini telah menyesatkan.
- Kembali ke masalah kualitas guru, bagaimana sesungguhnya kualitas guru di SD, SLTP, SMU, SMK? Dari segi ijazah tampaknya memadai bahkan banyak melampaui syarat minimal bahkan mengantongi ijazah Magister (S2). Dengan dilampaui syarat minimal belum menjadi jaminan pula kinerjanya lebih baik. Motivasi para guru mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi sangat menentukan. Tidak banyak yang bisa diharapkan kalau motivasi hanya mencari gelar.
- Tampaknya para guru kita belum banyak bergulat dalam meningkatkan kualitas dirinya selaku guru. Keikutsertaanya dalam seminar, lokakarya, pelatihan, lebih banyak karena sertifikatnya atau perintah atasan. Ternyata kegagalannya selalu dilimpahkan kepada orang lain, seperti siswa, orang tua, atasan, masyarakat walaupun ada benarnya. Bergulatlah untuk mengatasi semua hambatan itu.
- Ada guru tidak mau masuk kelas beberapa kali karena masalah sepele. Sikap guru yang suka ngambul ini tentulah belum bisa dikatakan dewasa. Fenomena guru “ngambek” ini bukan asing lagi di mata anak. Karena guru tidak membiasakan murid untuk protes, maka persoalan guru yang belum dewasa ini nyaris tidak terdengar. Kepala sekolah pun ewuh pakewuh dan tidak melaporkan gurunya yang sering ngambek ini kepada atasannya—mungkin takut dikatakan tidak bisa membina.
- Pembinaan guru sangatlah penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pembinaan guru selama ini adalah dari kepala sekolah dan pengawas. Karena sibuknya kepala sekolah menerima tamu, masalah administrasi dan keuangan sering kinerja guru di kelas tidak terpantau. Pengawas pun jarang memantau ke kelas dengan berbagai alasan. Pengawas tampaknya belum menyadari bahwa pembinaannya sangat berarti dalam meningkatkan kinerja guru. Membina guru hanya lewat kehadiran di waktu rapat untuk berceramah tidak akan banyak meningkatkan kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sebetulnya Depdiknas telah berupaya meningkatkan kinerja para pengawas dengan cara menjadikan pengawas mata pelajaran. Pelaksanaannya? Masih seperti dulu yakni pengawas sekolah. Entahlah di mana hambatannya.
- Pengangkatan pengawas dari Pemkot/Pemkab hendaknya bukan lagi menampung usia pensiun atau karena mantan pejabat. Profesionalisme betul-betul menjadi pertimbangan dan yang tidak kalah pentingnya adalah tunjangannya. Ataukah, para bupati/walokota lupa akan pentingnya kehadiran seorang pengawas sekolah yang profesional sehingga masalah profesionalisme pengawas kurang mendapat perhatian. Misalnya, bagaimana bisa melaksanakan tugas untuk membina guru kalau tidak pernah menjadi guru. Menjadi pengawas bukanlah memarahi guru, melainkan membina bahkan sebagai mitra kerja. Bila perlu, pengawas memberikan contoh cara pembelajaran materi tertentu jika guru mengalami kesulitan di kelas.
- Sehubungan pembinaan guru, penataran/pelatihan guru sering dikatakan menghabiskan dana yang tidak sedikit namun belum banyak berarti dalam peningkatan kinerga para guru. Pendapat ini ada benarnya. Ada beberapa kendala/kelemahan yang ada. Pertama, motivasi guru—tentu tidak semuanya—sangat rendah dalam mengikuti kegiatan. Mereka sekadar ikut karena taat perintah kepala sekolah atau sekadar mendapatkan serifikat untuk kenaikan pangkat. Kedua, ada yang berpikir negatif sebelum kegiatan dimulai baik terhadap nara sumber atau guru pendamping walau guru yang bersangkutan kinerjanya di sekolah belum dapat dikatakan baik. Akhirnya, beberapa pengalaman berharga dalam pelatihan lewat negitu saja. Ketiga, ada guru terlalu banyak berharap namun tanpa kreatif dalam kegiatan. Semestinya dalam kegiatan inilah terjadi tukar pengalaman atau berdiskusi tentang permasalahan yang dihadapi di sekolah. Keempat, sistem pelatihan perlu disempurbakan. Setelah kegiatan seolah proyek sudah selesai. Hendaknya ada tindak lanjutnya di lapangan. Setelah pelatihan perlu ada pemantauan/pembinaan beberapa bulan di sekolah tempat tugas peserta oleh nara sumber atau tim pelatih (instruktur). Di samping itu pemantauan/pembinaan juga berfungsi untuk mengevaluasi apakah kegiatan pelatihan efektif atau tidak.
- Jadi, kegiatan pelatihan tidak selesai dalam beberapa hari saja sebab akan cendrung teori tanpa praktek. Pelatihan guru sesungguhnya tidak pernah berhenti karena guru adalah seorang pembelejar. Guru tidak akan bisa membelajarkan siswanya kalau ia sendiri tidak belajar atau berlatih terus-menerus.
Dari kedua cerita tersebut, sangat bertolak belakang antara sosok seorang Ibu Muslimah dengan guru pada saat ini. Kemungkinan masih ada guru seperti Ibu Muslimah, tapi persentasenya lebih sedikit dibandingkan guru yang kurang profesional. Sehingga masih banyak penulis-penulis yang menceritakan tentang kelemahan guru dalam menjalankan amanahnya. Seharusnya ini menjadi motivasi guru dalam meningkatkan keprofesionalismenya, bukan menjadikan hal ini sebagai pematah semangat untuk menjadi yang lebih baik. Selain itu juga dapat penulis simpulkan bahwa sudah terjadi krisis profesionalisme guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru.
Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa secara garis besar masih banyak yang harus diperbaiki untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Hal itu menjadi PR bagi kita semua, khususnya kepada penulis sendiri.
B. Tujuan Penulisan
- Sebagai bahan referensi guru/calon guru dalam melakukan profesinya sebagai seorang guru.
- Memperbaiki kesalahan yang telah terjadi dan menjadikannya sebagai pelajaran di masa yang akan datang, sehingga mutu pendidikan di Indonesia dapat meningkat.
BAB II
PEMBAHASAN
Jika kita berfikir secara rasional, kehidupan guru sekarang sudah lebih baik daripada dahulu. Gaji telah dinaikkan, pembinaan sudah dilakukan. Hanya saja mungkin harus dimaksimalkan. Khususnya pada pembinaan bagi guru itu sendiri, baik secara pedagogik maupun spiritualnya. Tapi penulis yakin bahwa akan lahir Ibu Muslimah-Ibu Muslimah baru yang akan menjadi guru yang lebih baik dan berkualitas. Berikut akan disajikan tentang keprofesionalisme guru, karena jika guru dapat memahaminya dan menerapkannya maka mutu pendidikan di Indonesia akan semakin baik. Karena sturktur dan proseduralnya sudah baik hanya saja pelaksanaannya masih tidak maksimal.
Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, guru memiliki posisi sentral dan strategis. Karena posisinya tersebut, baik dari kepentingan pendidikan nasional maupun tugas fungsional guru, semuanya menuntut agar pendidikan dilaksanakan secara profesional. Pembahasan tentang guru profesional terkait dengan beberapa istilah, yaitu profesi, profesional itu sendiri, profesionalisme, profesionalisasi, dan profesionalitas.
Profesi adalah pernyataan pengabdian pada suatu pekerjaan atau jabatan (Piet A Sahertian, 1994:26), dimana pekerjaan atau jabatan tersebut menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Profesional menunjuk pada orang atau penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya. Profesionalisasi menggambarkan proses menjadikan seseorang sebagi profesional melalui pendidikan. Profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi yang menyangkut sikap, komitmen, dan kode etik; profesionalisme bisa tinggi, sedang, atau rendah. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan keprofesiaan biasa disebut profesionalitas (Dedi Supriadi, 1999:94-95).
Penting untuk dicermati bahwa profesi memiliki beberapa ciri pokok. Menurut Dedi Supriadi (1999:96) cirri-ciri tersebut ialah, pertama, pekerjaan tersebut mempunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan mengabdi kepada masyarakat. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh lewat pendidikan dan latihan yang 'lama' dan intensif serta dapat dipertanggungja-wabkan (accountable). Ketiga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu (a systematic body of knowledge). Keempat, ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan yang diberikan terhadap masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau kelompok memperoleh imbalan finasial atau material.
Proses pendidikan di dalam masyarakat yang semakin maju, demokratis dan terbuka menuntut suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik secara profesional. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru profesional, yaitu guru yang memiliki karakteristik profesionalisme. Guru profesional adalah guru yang memiliki keahlian, tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yang kuat. Untuk itu ia harus telah memiliki kualifikasi kompetensi yang memadai: kompetensi intelektual, sosial, spiritual, pribadi dan moral (Mohamad Surya, 2003:28). Sedangkan H.A.R Tilaar (1999:205) menggagaskan profil guru profesional abad 21 sebagai berikut.
- Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang (mature and developing personality) sebagaimana dirumuskan Maister 'professionaism is predominantly an attitude, not a set of competencies only. Ini berarti bahwa seorang guru profesional adalah pribadi-pribadi unggul terpilih;
- Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat. Melalui dua hal ini seorang guru profesional akan menginspirasi anak didiknya dengan ilmu dan teknologi. Guru profesional semestinya ia adalah 'ilmuwan' yang dibentuk menjadi pendidik.
- Menguasai keterampilan untuk membangkitkan minat dan potensi peserta didik. Oleh karena itu seorang guru profesional harus lah menguasai keterampilan metodologis membelajarkan siswa. Karakteristik ini yang membedakan profesi guru dari profesi lainnya. Jika karakteristik ini tidak secara sungguh-sungguh dikuasai guru, maka siapa saja dapat menjadi 'guru' seperti yang terjadi sekarang ini. Akibat lebih lanjut dari ini adalah profesi guru akan kehilangan 'bargaining position'.
- Pengembangan profesi yang berkesinambungan. Propesi guru adalah profesi mendidik. Seperti halnya ilmu mendidik yang senantiasa berkembang, maka profil guru profesional adalah guru yang terus menerus mengembangkan kompetensi dirinya. Pengembangan kompetensi ini dapat dilakukan secara institusional (LPTK), dalam praktik pendidikan, atau secara individual.
Sejalan dengan gagasan HAR Tilaar di atas, Dedi Supriadi (1999:98) mengutip Jurnal Education Leadership edisi Maret 1993 mengenai lima hal yang harus diraih guru agar menjadi profesional. Kelima hal tersebut adalah.
- Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
- Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa.
- Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
- Guru mampu berpikir sistimatis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu bagi guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
- Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Kelima hal di atas amat sederhana dan pragmatis. Justru karena keseder-hanaan itu akan membuat sesuatu mudah dicapai. Untuk meneguhkan kesuksesan kinerja pendidik sebagai guru profesional dan merupakan jabatan strategis dalam membangun masyarakat, Mohamad Surya (2003:290-292) menekankan perlunya seorang guru memiliki kepribadian efektif. Kepribadian merupakan keseluruhan perilaku dalam berbagai aspek yang secara kualitatif akan membentuk keunikan atau kekhasan seseorang dalam interaksi dengan lingkungan di berbagai situasi dan kondisi. Kepribadain efektif seorang guru adalah kepribadian berkualitas yang mampu berinteraksi dengan lingkungan pendidikan yang sebaik-baiknya agar kebutuhan dan tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif.
Kepribadian efektif memiliki sejumlah kompetensi yang bersumber pada komponen penguasaan subyek (materi pelajaran), kualitas profesional, penguasaan proses, kemampuan penyesuaian diri, serta kualitas kepribadiannya. Kepribadian efektif akan terwujud melalui berfungsinya keseluruhan potensi manusiawi secara penuh dan utuh melalui interaksi antara diri dengan lingkungannya. Menurut William D. Hitt (1993) potensi manusiawi itu antara lain adalah daya nalar yang bertumpu pada empat jenjang anak tangga berupa:
- Coping, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan dalam menghadapi dunia sehari-hari dengan baik;
- Knowing, yaitu kemampuan memahami kenyataan dan kebenaran dunia sehari-hari;
- Believing, keyakinan yang melandasi berbagai tindakan, dan
- Being, yaitu perwujudan diri yang otentik dan bermakna.
Jika kita cermati karakteristik kepribadian efektif sebagaimana diuraikan di atas, nampak bahwa unsur-unsurnya erat berkaitan dengan faktor-faktor kompetensi dan potensi psikologis seseorang. Salah satu potensi psikologis manusia yang saat ini mendapat kajian intensif karena diyakini sebagai salah satu penentu dominant bagi efektif tidaknya kepribadian seseorang dalam berinteraksi dan mengatasi persoalan hidup sehari-hari adalah kecerdasan emosi (EQ, Emotional Quotient).
Guru adalah jabatan profesi, untuk itu seorang guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesi. Seseorang dianggap profesi apabila mampu mengerjakan tugasnya dengan selalu berpegang teguh pada etika kerja, independent (bebas dari tekanan pihak luar), cepat (produktif), tepat (efektif), efisien dan inovatif serta didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan prima yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu atau teori yang sistematis, kewenangan profesi, pengakuan masyarakat dan kode etik yang regulatif. Pengembangan wawasan dapat dilakukan melalui forum pertemuan profesi, pelatihan ataupun upaya pengembangan dan belajar secara mandiri.
Sejalan dengan hal di atas, seorang guru harus terus meningkatkan profesinya melalui berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengelola pembelajaran maupun kemampuan lain dalam upaya menjadikan peserta didik memiliki keterampilan belajar, mencakup keterampilan dalam memperoleh pengetahuan (learning to know), keterampilan dalam pengembangan jati diri (learning to be), keterampilan dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu (learning to do), dan keterampilan untuk dapat hidup berdampingan dengan sesama secara harmonis (learning to live together).
Profesi guru seperti profesi lainnya, membutuhkan sebuah proses aktualisasi terhadap metode serta pengetahuan baru. Caranya bisa macam-macam, dari berbicara mengenai profesionalitas dengan rekan sejawat, membaca buku kemudian mempresentasikan nya didepan teman-teman guru, sampai hadir didalam sebuah pelatihan serta seminar yang diadakan di hotel mewah. Seminar atau pelatihan tersebut biasanya diadakan saat hari aktif dan guru harus meninggalkan kelas dan siswa yang diajarnya. Waktu penyelenggaraan acara tersebut terkadang juga diadakan di hari libur, ini menyebabkan berkurangnya waktu berkualitas guru bersama keluarganya.
Dari illustrasi diatas bisa dilihat bahwa upaya untuk menambah pengetahuan, menambah metode baru dalam dunia profesi guru membutuhkan pengorbanan serta waktu dan biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian pengorbanan tersebut harus mempunyai akibat yang signifikan dengan cara mengajar guru di kelas. Kualitas seorang guru yang sudah mengikuti sebuah pelatihan atau seminar bisa dilihat dari cara mengajarnya dikelas.
Untuk membuat sebuah seminar atau pelatihan menjadi ‘api perubahan’ bagi cara guru membelajarkan siswa di kelas dibutuhkan sebuah paradigma perubahan dari pelatihan dan pembinaan guru. Dalam hal ini pemerintah sudah berupaya untuk memberikan suplemen-suplemen khusus kepada guru, misalnya dalam bentuk berbagai pembinaan, mulai dari sertifikasi, diklat, seminat, training, lesson study dan lain sebagainya.
Dari pemaparan di atas telah dijelaskan bagaimana menjadi guru profesional secara umum, sebenarnya masih banyak lagi yang harus dipahami. D Untuk menjadi guru yang profesional tidaklah semudah membalik telapak tangan, perlu pengorbanan yang tidak sedikit. Jangan sampai krisis profesionalan ini merambah kepada calon-calon guru yang baru.
Jika kita lihat memang tugas seorang guru itu sangatlah kompleks. Tapi sebenarnya semua kembali ke unsur motivasi instrinsik guru tersebut. Yakinlah ketika seseorang mencintai sesuatu maka dia akan melakukan yang terbaik untuk yang dicintainya. Hal ini sama dengan ketika guru mencintai profesinya, tidak menganggap sebagai beban hidup, maka guru tersebut akan melakukan yang terbaik untuk anak didiknya.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Guru profesional adalah guru yang memiliki keahlian, tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yang kuat. Karena apapun ceritanya keprofesionalan akan muncul jika rasa cinta terhadap profesi tertanam di dalam hati seorang guru. Jika itu sudah menjadi darah daging bagi setiap jiwa guru maka pasti akan lahir kembali ibu muslimah-ibu muslimah yang lebih baik.
- Saran
Untuk mewujudkan harapan mulia, mencerdaskan kehidupan bangsa, sangat diperlukan kemauan, semangat, kerjasama, dan pengorbanan dari para guru itu sendiri. Apa pengorbanan yang diharapkan? Pengorbanan itu dapat berupa pemikiran, waktu, tenaga bahkan biaya dari para guru itu sendiri. Mengapa guru harus berkorban? Sebab usaha untuk mewujudkan peningkatan profesional guru tidak mungkin berhasil bila di tumpukan hanya pada pembinaan dari pemerintah saja tanpa didukung masyarakat terlebih bila tidak didukung oleh guru itu sendiri. Bukankah semakin tinggi keberhasilan yang ingin kita raih dalah hidup ini, konsekuensinya tentu semakin besar pula pengorban yang harus kita keluarkan.
Guru yang baik adalah ”Guru kreatif-siswa mengerti,guru inovatif-siswa senang dan guru antusias-siswa semangat”. Jadikan profesi sebagai suatu amanah dari Allah SWT, bukan sebagai beban hidup. Kerjakan dengan ikhlas bukan karena keterpaksaan atau diiming-imingi dengan sesuatu. Itulah cara menurut penulis untuk menangani krisis profesionalisasi guru di samping melaksanakan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
- http://tribana.blogspot.com/2009/01/pembinaan-guru-dan-mutu-pendidikan.html
- http://sulaimansedulang.blogspot.com/2010/11/salah-satu-kegiatan-pembinaan-guru-di.html
- http://tjiptosubadi.blogspot.com/2010/04/lesson-study-sebagai-model-pembinaan.html
- http://ufitahir.wordpress.com/2010/12/18/perkembangan-profesi-guru/
- http://re-searchengines.com/hendri11108.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar