BAB I
PENDAHULUAN
Sudah kita mafhum bahwa banyak faktor yang turut menentukan kualitas pendidikan, seperti mutu masukan (siswa), sarana, manajemen, kurikulum, dan faktor-faktor instrumental serta eksternal lainnya. Tetapi mengingat peranan strategis guru dalam setiap upaya peningkatan kualitas, relevansi, inovasi, dan efisiensi pendidikan maka salah satu komponen yang sangat menentukan bagi keberhasilan upaya tersebut adalah guru, khususnya peningkatan profesionalisme guru. Di sisi lain, profesi guru sepanjang waktu selalu saja mendapat sorotan tajam.
Dewasa ini tidak sedikit gambaran atau wacana yang diangkat untuk menunjukkan citra guru sedang dituding menurun bersamaan dengan pencitraan penghargaan masyarakat dan juga pemerintah yang mulai terkesan proporsional dan professional terhadap profesi guru dengan fungsinya yang strategis. Meskipun demikian sebagai suatu bangsa yang besar dan masih senantiasa menghargai profesi guru sebagai pembimbing dan pengembang sumber daya manusia menghadapi masa depan, suara dukungan dan upaya bagi pengembangan profesi guru akhir-akhir ini sangat menggembirakan. Kesejahteraan guru telah diperhatikan pemerintah. Yang awaknya profesi guru merupakan profesi yang disepelekan, seiring dengan perjalanan waktu dan tumbuhnya kesadaran guru sebagai pahlawan tanpa jasa, pada hari ini profesi guru menjadi sesuatu yang diperebutkan masyarakat. Terbukti dengan banyaknya yang mendaftar di perguruan tinggi keguruan.
Guru selalu digugu dan ditiru. Guru adalah selebritis, yang kehidupannya selalu disorot masyarakat. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Untuk itulah guru dituntut untuk bisa menjadi seseorang yang sempurna, meskipun kita tahu bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Sebagai seorang guru keprofesonalisme harus menjadi dasar dalam melaksanakan tugas mulia tersebut sesuai Tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokrasi serta bertanggung jawab (R.I, 2003:7) ”.
Oleh karena itu pemerintah terus memberikan pembinaan dan meningkatkan kesejahteraan guru. Dengan maksud, guru menjadi mencintai profesinya sehingga keprofesionalisme akan muncul di dalam hati guru-guru di Indonesia. Tetapi yang namanya juga manusia yang tak terlepas dari sifat individualisme yang terkadang mengenyampingkan rasa empati dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi. Satu hal lagi yang menjadi ciri khas manusia adalah perbedaan pemikiran yang dapat melahirkan suatu pemikiran menerima dan menolak. Termasuk pembinaan yang dilakukan olah pemerintah. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa cara pemerintah cukup baik, karena kesejahteraan guru perlu ditingkatkan. Namun sebagian lagi menyatakan bahwa cara tersebut belum cukup baik, karena hasilnya sama saja, mutu pendidikan tidak meningkat, guru mengajar dengan cara dan strategi yang sama. Dan banyak lagi pendapat-pendapat masyarakat tentang hal ini. Melihat hal tersebut penulis tertarik untuk membahas pro kontra yang terjadi dalam pembinaan profesionalisasi guru.
BAB II
PEMBAHASAN
Ada suatu kiasan yang menyatakan bahwa ”Guru kreatif-siswa mengerti, guru inovatif-siswa senang dan guru antusias-siswa semangat”. Kiasan ini sinergis dengan pepatah yang menyatakan ”Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Percaya atau tidak hal ini memang benar-benar terjadi. Jadi seorang guru harus bisa menjadi panutan bagi murid-muridnya. Kita (guru/calon guru) adalah cerminan anak didik kita nantinya.
Secara teoritis dan konsep kependidikan semua guru di Indonesia sudah memiliki bekal yang cukup. Tidak ada lagi alasan guru yang tamatan SPG atau sekolah menengah. Karena pembinaan dan pelatihan sudah banyak dilaksanakan oleh pemerintah. Mulai dari diklat, seminar, sertifikasi, PLPG, dan masih banyak yang lainnya. Seharusnya masalah yang bersifat keprofesionalisme guru dapat tertutupi. Namun kita lihat faktanya masih banyak masalah-masalah yang terjadi di lapangan. Pro kontra masih sering kita dengar.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Republik Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk mengemban amanat tersebut, ditetapkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan delapan standar nasional pendidikan yang harus menjadi acuan sekaligus kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaran pendidikan nasional. Delapan standar nasional pendidikan yang dimaksud meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Salah satu standar yang berkaitan langsung dengan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru. Guru sebagai tenaga profesional bertugas mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi, serta sehat jasmani dan rohani, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kualifikasi akademik untuk guru adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang guru yang dibuktikan dengan ijazah yang mencerminkan kemampuan akademik yang relevan dengan bidang tugas guru. Kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang meliputi Guru TK/RA, Guru SD/MI,Guru SMP/MTs, Guru SMA/MA dan Guru SMK/MAK untuk kelompok mata pelajaran normatif dan adaptif.
Pencapaian standar kualifikasi akademik dan penguasaan kompetensi guru dibuktikan melalui sertifikat profesi guru yang diperoleh melalui program sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi adalah proses untuk mengukur dan menilai pencapaian kualifikasi akademik dan kompetensi minimal yang dicapai oleh seorang guru. Guru profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang memenuhi standar akan mampu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Oleh karena itu, program sertifikasi merupakan salah satu program utama untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Mutu pendidikan nasional yang tercermin dalam kompetensi lulusan satuan-satuan pendidikan dipengaruhi oleh berbagai komponen seperti proses, isi, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Mutu pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang dipengaruhi oleh kualitas proses dan isi pendidikan. Pencapaian kompetensi lulusan yang memenuhi standar harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang juga memenuhi standar. Oleh karena itu perwujudan pendidikan nasional yang bermutu harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang memenuhi standar, pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi agar berkinerja optimal, serta sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan yang memenuhi standar.
Kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru, selain ditentukan oleh kualifikasi akademik dan kompetensi juga ditentukan oleh kesejahteraan, karena kesejahteraan yang memadai akan memberi motivasi kepada guru agar melakukan tugas profesionalnya secara sungguh-sungguh. Kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya akan sangat menentukan perwujudan pendidikan nasional yang bermutu, karena selain berfungsi sebagai pengelola kegiatan pembelajaran, guru juga berfungsi sebagai pembimbing kegiatan belajar peserta didik dan sekaligus sebagai teladan bagi peserta didiknya, baik di kelas maupun di lingkungan sekolah. Selain ditentukan oleh kinerja guru, upaya peningkatan mutu pendidikan nasional juga akan sangat ditentukan oleh pelaksanaan penilaian yang valid, obyektf dan tegas, baik penilaian oleh guru dan satuan pendidikan maupun penilaian oleh pemerintah.
Peningkatan kesejahteraan bagi guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi akan berfungsi meningkatkan kinerja, tetapi peningkatan kesejahteraan bagi guru yang kualifikasi akademik dan kompetensinya belum memenuhi standar sulit diharapkan untuk berdampak terhadap peningkatan kinerja sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu, khusus untuk tunjangan profesi pendidik hanya akan diterima oleh guru profesional yang ditandai dengan kepemilikan sertifikat profesi guru melalui program sertifikasi. Melalui program sertifikasi guru, akan terbentuk guru profesional, yaitu guru yang minimal telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi dan kepada mereka akan diberi tunjangan profesi pendidik yang besarnya sama dengan satu kali gaji pokok, dan selanjutnya diharapkan bahwa mereka akan berkinerja optimal dan pada gilirannya akan mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Sebaliknya kesejahteraan yang diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi, sulit untuk mewujudkan kinerja yang optimal dan selanjutnya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Oleh karena itu memberikan tunjangan profesi pendidik sebagai salah satu komponen kesejahteraan kepada semua guru tanpa sertifikasi tidak akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan dengan sendirinya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Sebaliknya kesejahteraan yang diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi, sulit untuk mewujudkan kinerja yang optimal dan selanjutnya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Oleh karena itu memberikan tunjangan profesi pendidik sebagai salah satu komponen kesejahteraan kepada semua guru tanpa sertifikasi tidak akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan dengan sendirinya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Dari uraian tersebut jelas bahwa sertifikasi akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional apabila sertifikasi dapat dilakukan secara obyektif dan valid. Artinya sertifikat profesi guru hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan benar-benar telah memiliki standar kompetensi atau kompetensi minimal yang disyaratkan, dan hal ini hanya akan terwujud apabila program sertifikasi dilakukan secara obyektif dan valid. Selain itu, sertifikasi juga harus berkeadilan, dalam arti prioritas kesempatan untuk mengikuti sertifikasi berdasarkan atas berbagai faktor yang merupakan indikator kualitas dan prestasi guru di lapangan, seperti kesenioran (usia, kualifikasi akademik, pengalaman akademik,kepangkatan), prestasi kerja sehari-hari yang dinilai oleh atasan dan teman sejawat, dan kinerja profesional yang diperlihatkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan demikian mudah dipahami bahwa program sertifikasi yang dilaksanakan secara obyektif, valid dan berkeadilan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya akan berpengaruh positif terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Dalam rangka pencapaian hasil dan proses pembelajaran seperti yang diharapkan, maka upaya pertama yang harus dilakukan adalah memposisikan guru sebagai pekerja yang profesional, mengapa demikian?. Sebab banyak orang termasuk guru sendiri yang meragukan bahwa jabatan guru merupakan jabatan profesional. Ada yang beranggapan bahwa setiap orang bisa menjadi guru. Si A, si B, atau siapa saja, walaupun mereka tidak memahami ilmu keguruan dapat saja dianggap sebagai guru, asalkan paham materi pelajaran yang akan diajarkannya. Apakah pandangan seperti itu benar?. Apabila mengajar dianggap hanya sebagai proses penyampaian materi pelajaran, pendapat semacam itu ada benarnya. Konsep mengajar yang demikian, tentunya sangat sederhana, yaitu asal paham informasi yang akan diajarkannya kepada siswa, maka ia dapat menjadi guru. Tetapi mengajar tidak sesederhana itu bukan?. Mengajar tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi suatu proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh sebab itu dalam poses mengajar terdapat kegiatan membimbing, melatih keterampilan intelektual, keterampilan psikomotorik, dan memotivasi siswa agar memiliki kemampuan inovatif dan kreatif. Oleh karena itu seorang guru perlu memiliki kemampuan merancang dan mengimplementasikan berbagai strategi pembelajaran yang dianggap cocok dengan materi pembelajaran, termasuk di dalamnya memanfaatkan bebagai sumber dan media pembelajaran untuk menjamin efektifitas pembejaran. Dengan demikian, seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, yaitu kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang lain yang bukan guru. “A teacher is person charged with the responbility of helping others to learn and to behave in new different ways” (Cooper, 1990). Itulah sebabnya guru adalah pekerjaan profesional yang membutuhkan kemampuan khusus hasil dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
Unsur Pembina profesional guru berasal dari tingkat pemerintahan pusat (Depdiknas), pemerintahan daerah (Dinas), dan tingkatan sekolah. Selain unsur yang berasal dari kelembagaan pemerintah, terdapat pula yang berasal dari organisasi profesi seperti PGRI, ISPI, dan sebaginya.
Pembinaan profesional pada tingkat Pemerintah Daerah dilaksanaan oleh lembaga/organisasi yang dibentuk berdasarkan ketentuan Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten yakni Pengawas dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Secara struktural MGMP tersebut terbagi dalam berbagai tingkatan yang didasarkan pada jenjang pendidikan/sekolah dan jenis mata pelajaran/bidang studi. Berdasarkan jenjang pendidikan terdapat MGMP SMP dan MGMP SMA, sedangkan berdasarkan jenis mata pelajaran untuk jenjang SMP contohnya adalah MGMP Sains/Pengetahuan Alam, MGMP Matematika, MGMP Bahasa Inggris dan sebagainya. Untuk jenjang SMA antara lain MGMP Biologi, MGMP Fisika, MGMP Kimia, MGMP Matematika, MGMP Bahasa Indonesia dan sebagainya. Untuk setiap jenjang dan jenis, secara hierarki MGPM dibagi ke dalam MGMP Pusat, MGMP Wilayah dan MGMP Sekolah. Di tingkat Sekolah Dasar bentuk organisasi yang mengarah ke pembinaan profesional guru adalah Kelompok Kerja Guru (KKG). Pembinaan profesional guru pada tingkat sekolah tempat guru melaksanakan tugas dilakukan oleh Kepala Sekolah dan MGMP sekolah. MGMP Sekolah dalam melakukan pembinaan profesional dilaksanakan dalam bentuk pertemuan periodik untuk mendiskusikan peningkatan kualitas pembelajaran. Kepala Sekolah melakukan pembinaan profesional secara internal dalam bentuk supervisi akademis dan non akademis kepada para guru. Mekanisme Pembinaan Profesional Guru untuk memecahkan permasalahan belum terpenuhinya sebagian aspek persyaratan keprofesionalan guru, diperlukan suatu sistem pembinaan profesional guru secara berkesinambungan. Dalam pasal 39 ayat (2) UU SISDIKNAS dinyatakan bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada msyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Tersuratnya sebutan profesional untuk tenaga pendidik (guru), menuntut harus dipenuhinya berbagai persyaratan profesional oleh guru.
Manejemen pembinaan profesional guru dilakukan dengan pendekatan TQM yang mendudukan setiap orang sebagai manajer dalam posisinya dan semua komponen terlibat di dalamnya (Sallis, 1993). Berdasarkan prinsip TQM, dalam pelaksanaan pembinaan profesional guru diarahkan harus terjadi tarnsformasi budaya dari budaya tradisional ke budaya mutu (cultural change), serta proses perbaikan/peningkatan dilaksanakan secara berkesinambungan (continuous improvement).
Sebagai contoh program penataran guru untuk kemampuan guru dalam menguasai bahan ajar (content) seharusnya dilaksanakan secara terencana dengan tujuan yang jelas dan metode sesuai. Apabila kegiatan penataran ini dilakukan asal tugas penyelenggaraan selesai tidak akan berdampak pada peningkatan kemampuan guru-guru tersebut. Dalam kaitan ini budaya “asal selesai” seharusnya diubah kepada budaya “penyelenggaraan berkualitas” untuk membina profesionalisme guru telah tersedia berbagai lembaga atau organisasi profesi baik di tingkat pusat maupun daerah. Lembaga/organisasi tersebut dipersiapkan Pusat dan Daerah untuk membantu para guru dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengajar. Komponen-komponen tersebut dapat dibagai menjadi dua kategori yaitu, kategori struktural dan kategori non-struktural. Komponen Pembina yang termasuk kategori struktural antara lain Kepala Sekolah, Pengawas, LPMP, P4TK. Sedangkan yang termasuk kategori non-struktural antara lain MGMP, KKG, PGRI, dan lain-lain.
Itulah berbagai macam usaha pemerintah dalam meningkatkan keprofesionalisasi guru dan mencapai tujuan pendidikan nasional. Namun masih ada juga permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Mutu pendidikan kita masih jalan di tempat—jika tidak bisa dikatakan mundur, dibandingkan negara tetangga yang pernah belajar dari guru-guru Indonesia. Kualitas guru beberapa puluh tahun terakhir ini semakin menurun. Indikatornya, rendahnya daya saing para lulusan. Para lulusan menambah antrean panjang pengangguran.
Perilaku siswa adalah cerminan kondisi guru. Beberapa gurunya di sekolah tidak lagi mendidik, melainkan hanya mengajar sehingga sudah merasa puas hanya dengan deretan angka di rapor/STTB. Besarnya angka-angka itu—yang sering palsu—dijadikan indikator meningkatnya mutu pendidikan. Indikator yang palsu ini telah menyesatkan.
Kembali ke masalah kualitas guru, bagaimana sesungguhnya kualitas guru di SD, SLTP, SMU, SMK? Dari segi ijazah tampaknya memadai bahkan banyak melampaui syarat minimal bahkan mengantongi ijazah Magister (S2). Dengan dilampaui syarat minimal belum menjadi jaminan pula kinerjanya lebih baik. Motivasi para guru mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi sangat menentukan. Tidak banyak yang bisa diharapkan kalau motivasi hanya mencari gelar. Tampaknya para guru kita belum banyak bergulat dalam meningkatkan kualitas dirinya selaku guru. Keikutsertaanya dalam seminar, lokakarya, pelatihan, lebih banyak karena sertifikatnya atau perintah atasan. Ternyata kegagalannya selalu dilimpahkan kepada orang lain, seperti siswa, orang tua, atasan, masyarakat walaupun ada benarnya. Bergulatlah untuk mengatasi semua hambatan itu.
Ada guru tidak mau masuk kelas beberapa kali karena masalah sepele. Sikap guru yang suka ngambul ini tentulah belum bisa dikatakan dewasa. Fenomena guru “ngambek” ini bukan asing lagi di mata anak. Karena guru tidak membiasakan murid untuk protes, maka persoalan guru yang belum dewasa ini nyaris tidak terdengar. Kepala sekolah pun ewuh pakewuh dan tidak melaporkan gurunya yang sering ngambek ini kepada atasannya—mungkin takut dikatakan tidak bisa membina.
Pembinaan guru sangatlah penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pembinaan guru selama ini adalah dari kepala sekolah dan pengawas. Karena sibuknya kepala sekolah menerima tamu, masalah administrasi dan keuangan sering kinerja guru di kelas tidak terpantau. Pengawas pun jarang memantau ke kelas dengan berbagai alasan. Pengawas tampaknya belum menyadari bahwa pembinaannya sangat berarti dalam meningkatkan kinerja guru. Membina guru hanya lewat kehadiran di waktu rapat untuk berceramah tidak akan banyak meningkatkan kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sebetulnya Depdiknas telah berupaya meningkatkan kinerja para pengawas dengan cara menjadikan pengawas mata pelajaran. Pelaksanaannya? Masih seperti dulu yakni pengawas sekolah. Entahlah di mana hambatannya.
Pengangkatan pengawas dari Pemkot/Pemkab hendaknya bukan lagi menampung usia pensiun atau karena mantan pejabat. Profesionalisme betul-betul menjadi pertimbangan dan yang tidak kalah pentingnya adalah tunjangannya. Ataukah, para bupati/walokota lupa akan pentingnya kehadiran seorang pengawas sekolah yang profesional sehingga masalah profesionalisme pengawas kurang mendapat perhatian. Misalnya, bagaimana bisa melaksanakan tugas untuk membina guru kalau tidak pernah menjadi guru. Menjadi pengawas bukanlah memarahi guru, melainkan membina bahkan sebagai mitra kerja. Bila perlu, pengawas memberikan contoh cara pembelajaran materi tertentu jika guru mengalami kesulitan di kelas.
Sehubungan pembinaan guru, penataran/pelatihan guru sering dikatakan menghabiskan dana yang tidak sedikit namun belum banyak berarti dalam peningkatan kinerga para guru. Pendapat ini ada benarnya. Ada beberapa kendala/kelemahan yang ada. Pertama, motivasi guru—tentu tidak semuanya—sangat rendah dalam mengikuti kegiatan. Mereka sekadar ikut karena taat perintah kepala sekolah atau sekadar mendapatkan serifikat untuk kenaikan pangkat. Kedua, ada yang berpikir negatif sebelum kegiatan dimulai baik terhadap nara sumber atau guru pendamping walau guru yang bersangkutan kinerjanya di sekolah belum dapat dikatakan baik. Akhirnya, beberapa pengalaman berharga dalam pelatihan lewat negitu saja. Ketiga, ada guru terlalu banyak berharap namun tanpa kreatif dalam kegiatan. Semestinya dalam kegiatan inilah terjadi tukar pengalaman atau berdiskusi tentang permasalahan yang dihadapi di sekolah. Keempat, sistem pelatihan perlu disempurbakan. Setelah kegiatan seolah proyek sudah selesai. Hendaknya ada tindak lanjutnya di lapangan. Setelah pelatihan perlu ada pemantauan/pembinaan beberapa bulan di sekolah tempat tugas peserta oleh nara sumber atau tim pelatih (instruktur). Di samping itu pemantauan/pembinaan juga berfungsi untuk mengevaluasi apakah kegiatan pelatihan efektif atau tidak.
Jadi, kegiatan pelatihan tidak selesai dalam beberapa hari saja sebab akan cendrung teori tanpa praktek. Pelatihan guru sesungguhnya tidak pernah berhenti karena guru adalah seorang pembelejar. Guru tidak akan bisa membelajarkan siswanya kalau ia sendiri tidak belajar atau berlatih terus-menerus.
Bila kita lihat dari keterangan di atas bahwa sebenarnya tugas seorang guru itu sangatlah kompleks. Tapi sebenarnya semua kembali ke unsur motivasi instrinsik guru tersebut. Yakinlah ketika seseorang mencintai sesuatu maka dia akan melakukan yang terbaik untuk yang dicintainya. Hal ini sama dengan ketika guru mencintai profesinya, tidak menganggap sebagai beban hidup, maka guru tersebut akan melakukan yang terbaik untuk anak didiknya.
Guru profesional adalah guru yang memiliki keahlian, tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yang kuat. Karena apapun ceritanya keprofesionalan akan muncul jika rasa cinta terhadap profesi tertanam di dalam hati seorang guru. Jika itu sudah menjadi darah daging bagi setiap jiwa guru maka pasti akan lahir kembali ibu muslimah-ibu muslimah yang lebih baik.
Untuk mewujudkan harapan mulia, mencerdaskan kehidupan bangsa, sangat diperlukan kemauan, semangat, kerjasama, dan pengorbanan dari para guru itu sendiri. Apa pengorbanan yang diharapkan? Pengorbanan itu dapat berupa pemikiran, waktu, tenaga bahkan biaya dari para guru itu sendiri. Mengapa guru harus berkorban? Sebab usaha untuk mewujudkan peningkatan profesional guru tidak mungkin berhasil bila di tumpukan hanya pada pembinaan dari pemerintah saja tanpa didukung masyarakat terlebih bila tidak didukung oleh guru itu sendiri. Bukankah semakin tinggi keberhasilan yang ingin kita raih dalah hidup ini, konsekuensinya tentu semakin besar pula pengorban yang harus kita keluarkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Guru profesional adalah guru yang memiliki keahlian, tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yang kuat. Karena apapun ceritanya keprofesionalan akan muncul jika rasa cinta terhadap profesi tertanam di dalam hati seorang guru. Jika itu sudah menjadi darah daging bagi setiap jiwa guru maka pasti akan lahir kembali guru profesional. Untuk mewujudkan peningkatan profesional guru tidak mungkin berhasil bila di tumpukan hanya pada pembinaan dari pemerintah saja tanpa didukung masyarakat terlebih bila tidak didukung oleh guru itu sendiri.
B. Saran
Sebagai mahasiswa, apalagi calon guru/pendidik bangsa, jangan jadikan isu yang di ambil negatifnya. Tetapi kita harus kritis, jangan mudah terpengaruh dan ikut-ikutan. Yang terpenting adalah ketika kita sudah memilih jalan ini, yaitu sebagai calon guru, maka berarti kita sudah mengorbankan diri kita untuk anak-anak bangsa. Apapun yang dilakukan olah pemerintah, jika guru belum dapat memaknai arti profesinya, akan sulit untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
- http://ketangw-pfisunsri.blogspot.com/2010/01/pembinaan profesionalisme-guru-ipa.html
- http://tribana.blogspot.com/2009/01/pembinaan-guru-dan-mutu-pendidikan.html
- http://sulaimansedulang.blogspot.com/2010/11/salah-satu-kegiatan-pembinaan-guru-di.html
- http://tjiptosubadi.blogspot.com/2010/04/lesson-study-sebagai-model-pembinaan.html
- http://ufitahir.wordpress.com/2010/12/18/perkembangan-profesi-guru/
- http://re-searchengines.com/hendri11108.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar